Senin, 08 Juli 2013

Awal Ramadhan sebaiknya kita bersatu


Penulis: Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., MA

Penentuan  awal ramadhan maupun hari raya kaum muslimin di Indonesia  tiap tahunnya, sering mengalami perbedaan. Beberapa tahun lalu pemeintah (wapres H.M. Jusuf Kalla) penah menggagas upaya penyatuan Idul Fitri dengan mengumpulkan tokoh-tokoh ormas Islam terkemuka.

Perbedaan hari Idul Fitri dan juga Idul Adha sangat penting untuk dicari solusinya. Sebab perbedaan hari Id di antara kaum muslimin akan mengurangi makna syiar Id sebagai hari persatuan dan solidaritas umat Islam, terutama bagi yang berada dalam satu wilayah  atau negara. Berbeda dengan awal puasa yang sekalipun terjadi perbedaan hari, tidak terlalu menampakkan perbedaan diantara umat.

Simpul persoalan yang melatari perbedaan waktu shalat Idul Fitri adalah metode penetapan awal dan akhir Ramadhan. Yang dikenal ada dua metode: rukyah dan hisab. Yang pertama dipegang oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU), sedang yang kedua dianut oleh Muhammadiyah. Pemerintah berpegang pada metode pertama. Karenanya, terdapat tim yang disebarkan untuk memantau dan melihat munculnya bulan pada tanggal 29 Sya’ban dan 29 Ramadhan. Setelah itu, tim tersebut bersidang untuk menetapkan (itsbat) awal puasa dan Idul Fitri. Adapun metode hisab didasarkan pada perhitungan bintang yang lazim dalam ilmu falaq.

Bertahun-tahun persoalan ini tak kunjung tuntas. Yang maksimal diupayakan adalah saling menghargai pilihan masing-masing, meski sangat pahit menyaksikan pelaksanaan shalat Idul Fitri di hari yang berbeda. Padahal kita hidup di satu negara, bahkan satu wilayah dan kota. Kenyataan ini sangat memprihatinkan, mengingat negara-negara Islam lainnya tidak menghadapi persoalan yang sama. Malaysia misalnya, meski di sana juga terdapat ormas Muhammadiyah, tapi pemerintah dan mayoritas penduduknya menganut metode rukyah.

Jika begitu, apakah tak ada solusi untuk mempersatukan hari Idul Fitri bagi kaum Muslimin di Indonesia? 
Sebelumnya, patut diingat, bahwa meski Idul Fitri ini bukanlah ibadah wajib, tapi seluruh kaum muslimin bersemangat melaksanakannya. Karenanya, kita dapat memahami mengapa tidak ada satu kelompok pun yang mau mengalah dengan pendapatnya. Karenanya, solusi yang ditawarkan sulit untuk diterima oleh pihak manapun kecuali mempunyai landasan syar’i yang jelas.

Solusi ini berangkat dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, Rasulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"(Waktu) puasa itu adalah ketika kalian berpuasa dan (waktu) Idul Fitri adalah ketika kalian beridul Fitri dan (waktu) Idul Adha adalah ketika kalian Beridul Adha.”

Hadits ini tidak menyinggung sama sekali tentang rukyah atau hisab. Tapi ia menegaskan bahwa  puasa dan Idul Fitri dan Idul Adha  adalah ibadah yang dilakukan secara berjamaah dan dengan mayoritas umat.

Ulama hadits menjelaskan makna hadits ini. Yakni, puasa dan Idul Fitri dan Idul Adha adalah ibadah secara berjamaah dan dilakukan bersama mayoritas kaum Muslimin. (Shahih Imam Tirmidzi, Silsilah ash-Shahihah, Syaikh al-Albani, I/440 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, II/ 9374-9375)

Karenanya, dalam sejarah Islam disebutkan tradisi kaum Muslimin berpuasa atau berlebaran bukan karena masing-masing perorangan melihat bulan (rukyah) atau dapat menghitung sendiri posisi bulan (hisab). Tapi berdasarkan pengumuman, baik lewat masjid atau dari mulut ke mulut, dan lainnya. Dalam kasus terdapat seorang muslim yang melihat bulan atau meyakini telah masuk puasa, tapi mayoritas umat tidak mengakuinya, maka maksimal yang dibolehkan baginya adalah berpuasa secara diam-diam, agar tidak mengganggu ketentraman dan persatuan umat di wilayah itu.

Yang tak kalah penting, ukuran mayoritas selain ditentukan dengan jumlah yang banyak secara mutlak juga diwakili oleh pemerintah yang berdaulat. Sebab, pada dasarnya pemerintah yang berdaulat adalah tempat bersatunya umat atau simbol persatuan umat yang secara otomatis bermakna mewakili mayoritas umat.

Tujuan yang ingin dicapai oleh hadits ini begitu jelas, yakni menjaga persatuan umat Islam yang merupakan kewajiban atas seluruh kaum muslimin.
Bila landasan hadits tersebut telah dipahami, maka dapat disimpulkan:

Pertama, seyogianya penentuan awal puasa dan Idul Fitri diserahkan kepada pemerintah, selama pemerintah itu berdaulat dan berkompeten dalam menentukan masalah ini, terlepas apapun metode yang dianutnya. Asas kompetensi ini sangat penting, karena ketika asas itu absen, maka tugas itu pindah ke tangan para ulama dan tokoh umat Islam. Makna kompetensi di sini adalah keislaman dan kesungguhan serta memiliki perangkat memadai.

Kedua, setiap Muslim termasuk organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga Islam yang memiliki informasi tentang masalah ini wajib menyampaikan kepada pemerintah dan menyerahkan keputusannya pada mereka.

Ketiga, bagi muslim atau sekelompok orang atau organisasi yang telah meyakini masuknya 1 Ramadhan, tapi pemerintah—dengan alasan yang kuat—tidak menerimanya, maka menurut sebahagian ulama ia boleh berpuasa tetapi dengan diam-diam (sirr). Sementara oleh sebagian ulama lainnya, mengharuskan mereka mengikuti mayoritas umat, dalam hal ini pemerintah, sebagaimana dijelaskan di atas.

Keempat, adapun jika dia meyakini telah masuk Idul Fitri tapi pemerintah tidak memperoleh informasi itu, atau punya alasan kuat untuk tidak menerima informasi itu, maka ia tidak boleh shalat Idul Fitri kecuali bersama-sama dengan mayoritas umat, dalam hal ini mengikuti pemerintah. Walau demikian, dalam kasus ini, sebagian ulama membolehkan atau mewajibkan dia untuk tidak berpuasa lagi pada hari yang ia yakini telah masuk 1 Syawal, tapi ia menunggu Idul Fitri bersama mayoritas umat. 

Dalilnya adalah hadits shohih yang diriwayatkan oleh imam Nasa-i dimana ada dua orang yang datang menyampaikan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang saat itu masih berpuasa-bahwa mereka di malam hari telah melihat bulan sabit Syawwal. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para shahabat untuk berbuka lalu sholat idil fitrinya nanti pada keesokan harinya. 

Imam Syafii berkata bahwa barang siapa yang telah melihat bulan (meyakini telah masuk 1 Syawwal-pen) maka ia wajib berbuka tetapi secara sirr (diam-diam) dan nanti beridil fitri bersama kaum muslimin... (bersambung..) ke part II klik disini



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih