Sabtu, 15 Oktober 2011

Menyatukan Idul Fitri Secara Syar’i Dalam Semangat Ukhuwah dan Persatuan Ummat


Oleh: Muhammad Zaitun Rasmin
(Tulisan ini berangkat dari keprihatinan akan perbedaan umat Islam di Indonesia dalam melaksanakan shalat Idul Fitri, yang terjadi hampir setiap tahun)

Perbedaan hari Idul Fitri dan juga Idul Adha sangat penting untuk dicari solusinya. Sebab perbedaan hari Id di antara kaum muslimin akan mengurangi makna syiar Id sebagai hari persatuan dan solidaritas umat Islam, terutama bagi yang berada dalam satu Negara (wilayatulhukmi) atau dalam satu matla’. Berbeda dengan awal puasa yang sekalipun terjadi perbedaan hari, tidak terlalu menampakkan perbedaan diantara umat.

Simpul persoalan yang melatari perbedaan waktu shalat Idul Fitri ini adalah metode penetapan awal dan akhir Ramadhan. Yang dikenal ada dua metode: ru’yah dan hisab. Yang pertama dipegang oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU), sedang yang kedua dianut oleh Muhammadiyah. Ormas dan lembaga Islam lainnya umumnya terbagi pada salah satu pendapat diatas. Pemerintah sendiri berpegang pada metode pertama dengan tetap mempertimbangkan masukan dari penganut metode hisab. Karena itu pemerintah selalu mengadakan sidang itsbat (penetapan) awal dan akhir ramadhan setelah mendapatkan informasi tentang ru’yah dari berbagai tempat dan pihak yang melakukan ru’yah, serta mendengarkan pula masukan para ahli astronomi dan ormas atau pihak-pihak yang menganut metode hisab.
         


Bertahun-tahun persoalan ini tak kunjung tuntas. Pilihan maksimal sampai saat ini adalah saling menghargai pilihan masing-masing, dibarengi rasa ‘penyesalan’ menyaksikan pelaksanaan shalat Idul Fitri di hari yang berbeda. Padahal kita hidup di satu negara, bahkan satu wilayah dan kota. Kenyataan ini sangat memprihatinkan, mengingat negara-negara Islam lainnya tidak menghadapi persoalan yang sama. Malaysia misalnya, meski di sana juga terdapat ormas Muhammadiyah, tapi mereka bersatu melaksanakan idilfitri dihari yang sama dengan  pemerintah dan mayoritas penduduknya yang menganut metode ru’yah.

Memang tidak mudah mendapatkan solusi bagi masalah diatas. Terutama karena ummat telah terbiasa dengan pendapat bahwa perbedaan dalam hal-hal ibadah terutama menyangkut masalah ‘furu’iyah’ tidak perlu dipersoalkan dan diserahkan pada keyakinan masing-masing. Pemahaman ini sedikit banyaknya telah berkontribusi pada kekurang seriusan para  pemimpin ormas dan tokoh ummat dalam mencari solusi masalah tersebut. Sayangnya pihak pemerintahpun-yang seharusnya lebih berperan- kurang kuat dan tidak sungguh-sungguh dalam memecahkan masalah ini.

Padahal masalah ini (penentuan awal dan akhir ramadhan) tidaklah sama dengan masalah-masalah furu’iyah yang umum, sebab masalah ini menyangkut ibadah jama’iyah dan syi’ar persatuan kaum muslimin, sementara yang lainnya umumnya adalah masalah yang menyangkut individu kaum muslimin sehingga perbedaan tentangnya sangat mudah difahami dan tidak mencolok. Kesulitan lain dalam mendapatkan solusinya adalah, setiap ormas merasa metode yang mereka gunakan adalah paling tepat dan syar’i. Karena itu bila ada tawaran solusi, tidak akan diterima kecuali diyakini sebagai solusi yang benar-benar mempunyai landasan syar’i yang kuat.

Dengan mempertimbangkan hal-hal diatas, penulis mencoba menawarkan solusi terhadap masalah tersebut.
Solusi ini berangkat dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

"(Waktu) puasa itu adalah ketika kalian berpuasa dan (waktu) Idul Fitri adalah ketika kalian beridul Fitri dan (waktu) Idul Adha adalah ketika kalian Beridul Adha.”
Hadits ini tidak menyinggung sama sekali tentang ru’yah atau hisab. Tapi ia menegaskan bahwa  puasa dan Idul Fitri serta Idul Adha  adalah ibadah jama’iyah (yang dilakukan secara bersama) umat Islam, sebagaimana yang dijelaskan maknanya oleh para ulama Hadist dan para fuqaha.(Shahih Imam Tirmidzi, Silsilah ash-Shahihah, Syaikh al-Albani, I/440 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, II/ 9374-9375)

Karenanya, dalam sejarah Islam diketahui bahwa kaum Muslimin berpuasa atau berlebaran bukan karena masing-masing perorangan melihat bulan (ru’yah) atau dapat menghitung sendiri posisi bulan (hisab). Tapi berdasarkan pengumuman, baik lewat masjid atau dari mulut ke mulut, dan lainnya. Dalam kasus terdapat seorang muslim yang melihat bulan atau meyakini telah masuk puasa, tapi mayoritas umat tidak mengakuinya, maka maksimal yang dibolehkan baginya adalah berpuasa secara diam-diam, agar tidak mengganggu ketentraman dan persatuan umat di wilayah itu. Dengan demikian seharusnya awal puasa apalagi idulfitri dilakukan secara bersama sama oleh seluruh atau umumnya(assawadul a’dzam) kaum muslimin terutama mereka yang dalam satu negeri/Negara(wilayatulhukmi) atau dalam satu matla’.

Tujuan yang ingin dicapai oleh hadits ini begitu jelas, yakni menjaga  persatuan umat Islam dan syi’ar-syi’arnya yang merupakan kewajiban atas seluruh kaum muslimin.

Implementasinya jelas adalah dengan berpatokan pada penentuan Imam atau pemerintah kaum muslimin, seperti yang terjadi sepanjang sejarah nubuwwah dan khilafah kaum muslimin. Sebab pemerintah kaum muslimin adalah representasi dari kaum muslimin atau mayoritas mereka. Memang setelah runtuhnya khilafah dan kesultanan Islam, ada kegamangan tentang eksistensi pemerintah negeri-negeri Islam sebagai representasi ummat islam dalam urusan-urusan ibadah mereka. Itu dapat dimaklumi, tetapi pada kenyataannya kita kaum muslimin tidak mungkin melepaskan diri dari peran-peran pemerintahan mereka(dengan segala kekurangan dan keterbasannya) dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umum atau kepentingan bersama kaum muslimin. Misalnya dalam masalah urusan nikah, cerai, wali hakim, waris dan haji.

Maka sepatutnyalah dalam masalah penentuan idilfitri, awal ramadhan dan idiladha, pemerintah kaum muslimin dapat difungsikan untuk memenuhi arahan hadits diatas. Apalagi untuk kasus pemerintah Indonesia, maka hal tersebut lebih kuat lagi.

Pertama, Pemerintah memang berkompoten dalam masalah ini, dengan adanya kementrian agama, bahkan direktorat dan bidang khusus pada kementrian tersebut yang mengurusi masalah ini.  Juga pemerintah sangat concern dalam persoalan ibadah ini melalui lembaga ru’yah dan ahli-ahli astronomi yang berpuncak pada sidang itsbat .

Kedua, Pemerintah, yang paling representative untuk mewakili umumnya atau mayoritas ummat islam Indonesia dalam masalah-masalah keummatan dalam berbagai bidang kehidupan.

Berdasarkan pada hal tersebut diatas, maka penulis menawarkan solusi dalam poin-poin berikut ini:

Pertama, seyogianya penentuan awal puasa dan Idul Fitri diserahkan kepada pemerintah, selama pemerintah itu berdaulat dan berkompeten dalam menentukan masalah tersebut, terlepas apapun metode yang dianutnya. Asas kompetensi ini sangat penting, karena ketika asas ini  absen, maka tugas itu pindah ke tangan para ulama dan tokoh umat Islam.

Kedua, setiap Muslim termasuk organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga Islam yang memiliki informasi tentang masalah ini wajib menyampaikan kepada pemerintah dan menyerahkan keputusannya pada mereka.
Ketiga, bagi muslim atau sekelompok orang atau organisasi yang telah meyakini masuknya 1 Ramadhan, tapi pemerintah—dengan alasan yang kuat—tidak menerimanya, maka menurut sebahagian ulama ia boleh berpuasa tetapi dengan diam-diam (sir). Sementara oleh sebagian ulama lainnya, mengharuskan mereka mengikuti mayoritas umat, dalam hal ini pemerintah, sebagaimana dijelaskan di atas.

Keempat, adapun jika dia meyakini telah masuk Idul Fitri tapi pemerintah tidak memperoleh informasi itu, atau punya alasan kuat untuk tidak menerima informasi itu, maka ia tidak boleh shalat Idul Fitri kecuali bersama-sama dengan mayoritas umat, dalam hal ini mengikuti pemerintah. Walau demikian, dalam kasus ini, sebagian ulama membolehkan atau mewajibkan dia untuk tidak berpuasa lagi pada hari yang ia yakini telah masuk 1 Syawal, tapi ia menunggu Idul Fitri bersama mayoritas umat. Dalilnya adalah hadits shohih yang diriwayatkan oleh imam Nasa-i dimana ada dua orang yang datang menyampaikan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang saat itu masih berpuasa-bahwa mereka di malam hari telah melihat bulan sabit Syawwal. Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para shahabat untuk berbuka, tetapi sholat idil fitrinya nanti pada keesokan harinya. Imam Syafii berkata bahwa barang siapa yang telah melihat bulan (meyakini telah masuk   1 syawal) maka wajib berbuka, tetapi sholat  idilfitrinya bersama  kaum muslimin.

Kelima : Sesuatu yang dipandang baik bahkan sunnah dapat ditinggalkan-sementara- demi kemaslahatan yang lebih besar atau hal yang wajib. Dalam hal ini kita mendapatkan contoh dari Rosulullah shallahu ‘alaihi wasallam, dimana beliau meninggalkan sesuatu yang beliau pandang baik tapi bukan wajib demi menjaga keutuhan umatnya. Seperti dalam hadits shohih dari Aisyah Radiayallahu ‘anha dimana beliau tidak jadi mengubah bentuk Ka’bah sesuai bentuk aslinya di zaman Ibrahim, karena mempertimbangkan kaum persatuan dan perasaan kaum Quraisy yang baru umumnya baru masuk Islam . Contoh lain adalah  Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu  salah seorang ulama shahabat  yang mengkritik khalifah Utsman radiyallahu ‘anhu dalam perkara tidak mengqoshar shalat (dhuhur,ashar dan isya) di Mina dan beliau meyakini itu bertentangan dengan sunnah. Tetapi ketika  haji , beliau (Ibnu Mas’ud) radiyallahu ‘anhu meninggalkan pendapatnya untuk tidak mengqoshar sholatnya (mengikuti pendapat sang Khalifah) demi persatuan ummat.

Keenam:  Tentang metode penetapan awal dan akhir ramadhan dapat terus didiskusikan secara ilmiyah untuk mencapai kebenaran atau kesepakatan terbaik dengan semangat husnudzzan dan saling menghormati. Maka dalam hal ini metode apapun yang menjadi dasar pemerintah dalam menetapkannya harus dihargai. Dan harus ada konsinstensi dan kelapangan dada dalam menerimanya. Jadi kalau sekarang pemerintah menganut metode ru’yah maka yang menganut hisab harus berlapang dada. Dan jika suatu saat pemerintah menganut metode hisab, maka yang menganut metode ru’yah harus berlapang dada.

Ketujuh: Pemahaman  bahwa perbedaan telah menjadi suatu keniscayaan dapat dimaklumi. Tapi jika pada perbedaan itu ada titik temu yang berlandaskan syar’i dan sejalan dengan ruh dan petunjuk Islam yang mengedepankan persatuan, maka tidak ada alasan untuk terus memelihara perbedaan  yang ada apalagi yang sangat mencolok dan tidak lumrah.

Akhirnya, teriring harapan agar ormas dan semua pihak yang telah atau akan menentukan hari Id yang berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah kiranya dapat menyesuaikan dengan apa yang akan ditetapkan oleh pemerintah yang merupakan representasi mayoritas umat Islam. Meski dipersilakan untuk tidak berpuasa pada hari yang telah diyakini sebagai hari Idul Fitri. 
Di sisi lain, ormas dan kaum muslimin yang sejalan dengan penetapan pemerintah hendaknya pula tidak membanggakan diri. Sebaliknya, harus menghargai orang-orang atau organisasi yang sekalipun mereka tidak berpuasa lagi, tapi mau menyesuaikan shalat idnya dengan mayoritas umat dalam rangka menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah.

Semoga Allah senantiasa membimbing dan mencurahkan rahmat dan berkahnya kepada kita semua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih