Minggu, 06 Februari 2011

Kunang-kunang dan pencemaran udara


Udara merupakan komponen kehidupan sangat penting bagi kelangsungan hidup makhluk hidup. Tanpa makan dan minum makhluk hidup masih dapat bertahan dalam beberapa hari. Namun, tanpa udara kehidupan tak bertahan lama. Udara mengandung komposisi gas alami yang penting bagi kehidupan. Seiring dengan berkembangnya pembangunan, kualitas udara mengalami perubahan dalam komposisinya yang telah berubah dari komposisi udara alamiah menjadi udara tercemar sehingga tak dapat menyangga kehidupan.
Hasil pemantauan Kementerian Lingkungan Hidup melalui Air Quality Monitoring Station (AQMS), di 10 kota besar di Indonesia, enam di antaranya (Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Jambi, Pekanbaru) memiliki udara berkategori baik selama 22 sampai 62 hari dalam setahun atau tak lebih dari 17 persen. Di Pontianak dan Palangkaraya penduduk harus menghirup udara dengan kategori berbahaya selama 88 dan 22 hari. Khusus Jakarta, data AQMS menunjukkan, kualitas udara kategori baik di Jakarta selama 2001 hanya 75 hari. Pada 2002 angka itu menurun menjadi 22 hari dan pada 2003 sebanyak 26 hari. Pada 2004 warga Jakarta hanya menikmati udara dengan kategori baik selama 18 hari dalam kurun waktu satu tahun.

Untuk jangka waktu panjang penurunan kualitas udara akan mengganggu kehidupan makhluk hidup, terutama manusia yang terlibat langsung dengan kondisi tersebut. Udara tercemar mengandung gas berbahaya sehingga tak hanya menyebabkan penyakit, tetapi juga kepunahan populasi.

Dampak penurunan kualitas udara ini tercermin dari menurunnya populasi hewan kecil seperti kunang-kunang yang ternyata sudah jarang terlihat dan ditemukan di kota-kota besar. Bahkan di beberapa wilayah di dunia, populasi kunang-kunang menurun. Lebih dari 2000 spesies kunang-kunang tersebar di daerah tropis. Jumlah terbesar dan beragam ditemukan di Asia Tropical, Amerika Utara dan Tengah, serta 170 spesies ditemukan di Amerika Serikat. Di Indonesia di sepanjang aliran Sungai Kecil, daerah Lagoi, Kepulauan Riau ditemukan dua jenis kunang-kunang. Salah satunya termasuk genus Pteroptyx.

Keberadaan kunang-kunang dapat dijadikan indikator sehat tidaknya lingkungan. Binatang ini dapat hidup jika lingkungannya berudara segar, tanah subur, dan air jernih. Terbukti dari habitat kunang-kunang berada di tempat berkelembapan udara tinggi. Kebanyakan spesies kunang-kunang ditemukan di daerah dengan kelembaban tinggi dan hangat seperti kolam, sungai, payau, lembah, parit dan padang rumput. Udara lembab mengandung banyak uap air yang dimanfaatkan kunang-kunang untuk bernapas dan menghasilkan cahaya.

Kunang-kunang memiliki organ dan sel khusus (Photocytes) yang mampu menghasilkan cahaya, terdapat pada segmen pertama atau kedua terakhir dari abdomen. Kunang-kunang menghasilkan cahaya melalui serangkaian proses. Dari proses dihasilkannya cahaya dapat diketahui oksigen dan nitrogen monoksida dalam udara bersih memiliki peran vital. Pencahayaan ini berkait erat dengan tingkah laku kawin kunang-kunang, selain sebagai tanda peringatan bahaya serta untuk melindungi diri dari predator (Branham, 1998; Bongiovanni, 2001). Setiap spesies kunang-kunang memiliki cahaya berbeda, yang membedakan mereka berkomunikasi dengan yang lainnya.

Udara yang bersih akan melestarikan populasi kunang-kunang. Oleh karena itu mari menjaga kebersihan udara. Banyak hal sederhana yang dapat dilakukan mulai dari sekarang seperti merawat dan memperbanyak menanam pepohonan sehingga dapat membantu menetralisir udara di sekitar kita.

Sumber : blogpopuler.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih