Dalam kehidupan sehari-hari,ada
beberapa istilah sering kita gunakan, diantara istilah tersebut adalah silaturahmi,Minal
Aidin Wal Faizin, halal bil halal dll. Namun penggunaan istilah tersebut
perlu diketahui asal-usul dan maknanya.
1. Halal bil Halal
Secara bahasa, halal bihalal adalah kata majemuk dalam
bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata
majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian
masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Makkah dan Madinah justru biasa
mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab
mereka- bertanya ‘halal?’ saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat
perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga
yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat,
penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang
dihidangkan di tempat umum, para jamaah haji biasa bertanya “halal?” untuk
memastikan bahwa makanan / minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.
Kata majemuk ini tampaknya memang ‘made in Indonesia’. Kata halal
bihalal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal
maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di
sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sekelompok orang dan
merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia.”
Halal bihalal dengan makna
seperti di atas juga tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama.
Sebagian penulis dengan bangga menyebutkan bahwa halal-bihalal adalah
hasil kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah
masyarakat Indonesia
2.
Minal
Aidin Wal Faizin
Menjelang lebaran atau hari raya
Idul Fitri, banyak diantara kita yang terbiasa mengirim pesan atau mengucapkan
kalimat Minal Aidin Wal Faizin kepada kerabat, teman atau orang-orang yang kita
kunjungi. Yang mungkin ketika mengucapkan kalimat itu, mindset yang ada
difikiran yang mengucapkanntya adalah “mohon maaf lahir dan bathin” . padahal
artinya bukanlah demikian.
Dalam buku berjudul “Bahasa!”
terbitan TEMPO. Di halaman 177 buku ini, Qaris Tajudin mengungkapkan bahwa
memang frasa Minal Aidin Wal Faizin “berasal dari bahasa Arab, bahasa yang
banyak menyumbang istilah keagamaan di Indonesia, baik agama Islam maupun
Kristen.”
Qaris mengatakan bahwa selain tidak
dikenal dalam budaya Arab, frasa Minal Aidin Wal Faizin juga hanya dapat
dimengerti oleh orang Indonesia. Frasa ini bisa ditemui dalam kamus bahasa
Indonesia, tapi tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam lema
kata per kata.
Lalu, apa arti Minal Aidin Wal
Faizin? Terjemahan frasa ini adalah : dari orang yang kembali dan orang-orang
yang menang. Mungkin maksud lengkapnya adalah : ”Semoga Anda termasuk
orang-orang yang kembali (ke jalan Tuhan) dan termasuk orang yang menang
(melawan hawa nafsu).”
Ternyata, adalah suatu kesalahan
besar jika kita mengartikan Minal Aidin Wal Faizin dengan “mohon maaf lahir dan
batin”.
Lantas, bagaimanakah pengucapan yang
disyariatkan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya
tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab [Majmu Al-Fatawa
24/253] :
“Ucapan pada hari raya, di mana
sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Ied :
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكم
Taqobbalallahu
minnaa wa minkum
“Semoga Allah
menerima dari kami dan dari kalian”
Dan (Ahaalallahu ‘alaika), dan
sejenisnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka
mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Imam
Ahmad dan selainnya.
Akan tetapi Imam Ahmad berkata :
“Aku tidak
pernah memulai mengucapkan selamat kepada seorangpun, namun bila ada orang yang
mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya. Yang demikian itu karena
menjawab ucapan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula
dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya
baginya juga ada contoh, wallahu a’lam.” [Lihat Al
Jauharun Naqi 3/320. Berkata Suyuthi dalam 'Al-Hawi: (1/81) : Isnadnya hasan]
Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari [2/446] :
“Dalam “Al Mahamiliyat” dengan isnad
yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata :
“Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada
hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu
minnaa wa minka (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)”.
Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni”
(2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu
Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada
sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka”.
3. Silaturahim/silaturahmi
Di Indonesia sering kita temui kata
silaturahmi sebagai kata yg menggambarkan aktivitas hubungan antar sesama
manusia. Aktivitas yg dimaksud adalah aktivitas saling mempererat tali
persaudaraan dan kekerabatan. Kata ini kian populer menjelang dan selama bulan
Syawal, saat idul Fitri, meski kata ini juga sering digunakann dalam hal2
lainnya.
Sebenarnya bisa dibilang silaturahmi
adalah sebuah salah kaprah, karena jika merujuk kepada asal katanya, bahasa
Arab, maka kata yg benar adalah SILATURAHIM. Mari kita tinjau per-kata-nya.
Silaturahmi dan silaturahim, jika
merujuk pada bahasa Arab, mempunyai huruf penyusun yg sama. Yang membedakan
adalah akhirannya yg otomatis akan mempengaruhi artinya. Silah itu berarti
menyambungkan. Sementara rahmi mempunyai arti rasa nyeri yg timbul (dan
diderita sang ibu) pada saat melahirkan. Adapun rahim adalah kasih sayang
(ingat: ALLOH SWT mempunyai sifat Ar Rahim, Yang Maha Penyayang).
Dengan demikian, silaturahim =
hubungan kasih sayang, sedangkan silaturahmi = penghubung uterus (tali pusar yg
menghubungkan ibu dan anak).
4.
Makna
Idul Fitri yang diartikan Kembali Suci atau pada Fitrah
Kata ‘ied sendiri berarti adalah
kembali atau berulang, tetapi dalam bahasa arab sudah menjadi istilah khusus
untuk menyebut hari raya, karena memang menjadi peringatan yang selalu berulang
setiap tahun. Yang menjadi masalah kemudian kata fitri, yang sering diartikan
kembali suci atau kembali kepada fitrah.
Digambarkan pula bagaimana seorang
yang keluar dari ramadhan bagaikan hari dilahirkan ibunya, alias tanpa dosa
sedikitpun. Subhanallah, tentu kita semua menginginkan hal tersebut bukan.
Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, karena berangkat dari harapan yang
dijanjikan dari sebuah hadits : “ Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan penuh
pengharapan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu “ (HR
Bukhori Muslim).
Namun secara objektif bahasa dan
istilah arab dan arti syar’I sebagaimana terdapat dalam hadits, fitri disini
maksudnya adalah berbuka atau kondisi tidak berpuasa. Jadi yang dimaksud idul
fitri adalah kembali berbuka atau hari raya menyambut berbuka.
Karenanya dalam hari idul fitripun
kita dilarang untuk berpuasa. Makna fitri dalam arti berbuka bisa kita ambil
dengan mudah dalam hadits berikut :
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ
عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ.
Bagi orang yang
berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraa ketika dia berbuka
dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya. (HR
Bukhori).
Semoga bermanfaat untuk kita semua.
Amin. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih