Dalam syari’at Islam, kolektifitas (keberjamaahan) dalam pelaksanaan sebagian ibadah mempunyai kedudukan yang sangat urgen dan strategis. Hal ini berangkat dari sebuah mainstream bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi prinsip wahdah al-ummah (persatuan ummat) sebagai salah satu risalah (visi) penting dalam kedudukannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Maka salah satu sarana untuk mewujudkan visi tersebut disyariatkanlah beberapa jenis ibadah Jama’iyyah yang selain fungsi utamanya adalah pembuktian penghambaan seorang hamba kepada Allah Azza Wa Jalla, di lain sisi ia juga memuat nilai-nilai keberjamaahan yang sangat kental.
Dari sisi jumlah individu pelaksana sebuah ibadah yang disyari’atkan, maka ibadah tersebut dibagi menjadi dua bagian besar;
Pertama: Ibadah Fardiyah (individual). yaitu ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan secara individual (perseorangan) tanpa melibatkan orang lain (jama’ah), contohnya: Amalan hati berupa niat, keikhlasan, rasa takut kepada Allah, begitu juga sebagian amalan anggota badan seperti membaca al-Quran, melaksanakan thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shofa dan Marwa dan juga seperti sholat sunnah rawatib dan yang lainnya.
Kedua: Ibadah Jama’iyyah (Kolektif). Yaitu ibadah yang disyariatkan untuk dilaksanakan oleh kaum muslimin secara berjama’ah dan bersama-sama, seperti: Sholat Jum’at, sholat dua hari raya, Wukuf di Arafah bagi Jama’ah haji, Jihad fi sabilillah dan yang lainnya.
Dalam aplikasinya ibadah jama’iyyah mempunyai beberapa batasan yang perlu diperhatikan, di antaranya:
Pertama; penetapan bahwa ibadah tersebut boleh dilakukan secara berjama’ah adalah tawqifiyah (belandaskan wahyu). Artinya dalam hal ini seorang Muslim tidak dibenarkan menetapkan bentuk sebuah ibadah menjadi ibadah jama’iyyah kecuali hal tersebut didukung oleh dalil-dalil syari’at yang jelas.
Sebagai contoh sederhana: Sholat sunnah rawatib -baik sebelum atau sesudah sholat fardhu- tidak boleh dilaksanakan dalam bentuk berjama’ah. Begitu pula sebaliknya, ibadah yang telah disyari’atkan pelaksanaannya secara berjama’ah maka tidak boleh dilakukan secara individual kecuali ada dalil syar’i yang membolehkannya. Hal ini berangkat dari kaidah umum dalam persoalan ibadah “al-Ashlu fi al-‘Ibaadat al-Tahriim”. Hukum asal penetapan sebuah ibadah adalah haram sampai ada dalil yang membolehkannya.
Kedua; Ketaatan kepada Imam (Pemimpin) dalam Ibadah Jama’iyyah. Dalam konteks sholat berjama’ah misalnya, ada imam dan ada makmum. Maka sang makmum tidak boleh melakukan tindakan yang menyalahi posisinya sebagai makmum yang menjadikan imam sebagai patokan dalam pelaksanaan ibadah sholat. Rasulullah –Shallallahu’alaihi wasallam- bersabda:
إنما جعل الإمام ليؤتمّ به، فلا تختلفوا عليه
Artinya: “Seseorang dijadikan imam (dalam sholat) untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya.” (HR. Bukhari No. 722 & Muslim No.414).
Tidak boleh seorang anggota jama’ah Jum’at melaksanakan sholat Jum’at terlebih dahulu sebelum khatib selesai berkhutbah. Sebagaimana dilarang mendirikan jama’ah baru dalam sebuah masjid sebelum jama’ah yang sebelumnya selesai melaksanakan sholat berjamaahnya. Apalagi dalam jihad fi Sabilillah maka seorang pasukan kaum Muslimin tidak boleh menyelisihi strategi dan instruksi panglima perang yang ditunjuk. Dalam hal ini Perang Uhud (Thn ke- 5 H) dapat dijadikan pelajaran penting betapa ketaatan kepada pemimpin menjadi syarat utama sebuah kemenangan.
Ketiga; Dalam ibadah Jama’iyyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan ijtihad maka keputusan akhir dikembalikan kepada imamah syar’i (kepemimpinan) atau otoritas yang ditunjuk dan disepakati dalam hal ini Waliy al-Amr kaum Muslimin, selama yang mereka putuskan tidak melanggar ketentuan dan kaidah-kaidah syariat.....(bersambung ke Part II)
link untuk download artikel ini disini
link untuk download artikel ini disini
Masya Allah Skali
BalasHapus