Dalam
skala jamaah yang jumlahnya kecil, meskipun seorang makmum memandang bahwa qunut
dalam sholat shubuh tidak disyariatkan dan imam meyakini bahwa qunut tersebut
sesuatu yang disyariatkan, sang makmum tidak boleh mendahului imam sujud atau
bahkan membatalkan sholatnya karena perbedaan ijtihad.
Dalam
skala yang lebih besar, wukuf di Arafah -yang merupakan puncak pelaksanaan
ibadah haji- dapat dijadikan sebagai contoh. Jika seorang jamaah haji meyakini
berdasarkan ijtihadnya(pendapatnya) bahwa hari Arafah jatuh sehari sebelum atau sesudah hari
yang ditetapkan oleh otoritas yang berwewenang, maka ia tidak dibolehkan untuk
melaksanakan wukuf sendirian di Arafah berdasarkan keyakinannya dan menyelisihi
apa yang ditetapkan oleh otoritas yang berwewenang (dalam hal ini pemerintah
Arab Saudi), karena wukuf merupakan ibadah yang mengedepankan kebersamaan dan
persatuan jama’ah haji dalam pelaksanaannya.
Dalam
sejarah, sahabat Ibnu Mas’ud –Radhiyallahu’anhu- patut dijadikan teladan
dalam masalah ini. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1/307) bahwasanya Amirul
Mukminin Utsman Ibn Affan -Radhiyallahu’anhu- melaksanakan sholat di Mina
sebanyak 4 rakaat (tidak diqashar), maka sahabat Abdullah Ibn Mas’ud pun
menginkari hal tersebut seraya berkata: “Aku (telah) ikut melaksanakan sholat
di belakang Nabi –Shallallahu’alahi Wasallam-, di belakang Abu Bakar, di
belakang Umar dan di awal masa pemerintahan Utsman sebanyak 2 rakaat
(diqashar), kemudian setelah itu Utsman melaksanakannya secara sempurna (tidak
diqashar).”
Kemudian Ibnu Mas’ud mengerjakan 4 rakaat (di belakang Utsman). Lantas beliau ditegur: “Engkau mencela Utsman tetapi engkau (mengikutinya) melaksanakan 4 rakaat.” Beliau berkata: “Berselisih itu Jelek”.
Kemudian Ibnu Mas’ud mengerjakan 4 rakaat (di belakang Utsman). Lantas beliau ditegur: “Engkau mencela Utsman tetapi engkau (mengikutinya) melaksanakan 4 rakaat.” Beliau berkata: “Berselisih itu Jelek”.