Selasa, 22 Januari 2013

Jangan Mengurangi Timbangan

Sebenarnya persoalan memanipulasi timbangan atau lebih tepatnya lagi mengurangi timbangan bukan barang baru lagi bagi para pedagang nakal. hampir di seluruh dunia pasti akan ditemukan akhlak buruk sebagian pedagang yang sengaja mengurangi timbangan. Bahkan jangan heran jika beberapa oknum pedagang dengan sengaja memodifikasi timbangan untuk mencari keuntungan.
Timbangan yang dimodif ini secara kasat mata akan sama dengan timbangan pada umumnya. Para konsumen akan tahu setelah mereka menimbang ulang barang belanjaannya di rumah atau menggunakan timbangan lainnya. Tidak tanggung-tanggung, selisih yang akan diterima para konsumen bisa mencapai 100 gram (1 ons).
Memodifikasi timbangan merupakan bentuk kecurangan yang dilakukan sebagian pedagang. Hal ini dilakukan dengan maksud meraup keuntungan yang lebih besar. Sehingga tidak heran jika peminat modifikasi timbangan ini cukup banyak. Cara-cara berdagang ini tentu tidak bisa diterima secara hukum, baik hukum masyarakat, negara, terutama lagi agama. Sebab tindakan seperti ini bisa dikategorikan korupsi atau pencurian yang direncanakan. 
Sebetulnya, kasus kecurangan ukuran dan timbangan, bukan hal baru. Tapi sudah berlangsung seumur sejarah manusia. Di dalam Alquran, terdapat kisah Nabi Syu’aib, yang diutus kepada bangsa Madyan dan bangsa Aikah. Kedua bangsa itu, terkenal suka mempermainkan ukuran atau timbangan. Jika membeli, ukuran dan timbangan, mereka perkecil. Sehingga barang seberat 10 kg dari penjual, setelah ditimbang pada timbangan mereka, hanya ada 9 kg. Tapi kalau menjual, ukuran diperbesar. Maka barang sebanyak 5 liter, akan menjadi 6 liter. Begitu seterusnya.
Nabi Syu’aib berseru kepada bangsa Madyan. “Fa auful kaila wal mizana”. Sempurnakanlah ukuran dan timbangan. (Q.s.al A’raaf : 85).
Kepada bangsa Madyan, Nabi Syu’aib berseru pula. “Auful kaila wa la takun minal muhsirin”. Tepatkanlah ukuran dan janganlah kalian termasuk golongan orang yang merugi. (Q.s.asy Syu’araa : 181).
Baik bangsa Madyan, maupun bangsa Aikah, menolak peringatan Nabi Syu’aib tersebut. Maka kepada mereka, Allah SWT menurunkan azab, berupa gempa bumi, suara petir menggelegar, dan awan panas yang menghanguskan segala mahluk dan benda di muka bumi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:

Kamis, 03 Januari 2013

Air Hujan Adalah Rahmat Allah


Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah diturunkannya air hujan dari langit. Mungkin kita bisa bayangkan bagaimana jadinya bumi ini jika Allah menahan air hujan dan tidak menurunkannya ke Bumi?
Tentu saja bumi akan kering kerontang, tumbuhan akan mati mengering, hewan dan manusia tentu akan kehausan. Allah subhanahu wa ta ‘ala adalah tuhan alam semesta ini, memberikan rahmat-Nya kepada hambanya salah satu rahmat tersebut adalah air hujan. Walaupun demikian masih banyak manusia yang tidak menyadari rahmat Allah ini bahkan ada diantaranya yang justru mencela ketika hujan turun. Berikut beberapa hal yang perlu diketahui tentang hal tersebut:

1.    Air Hujan merupakan tanda-tanda kebesaran Allah
 Allah Ta’ala Berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat [41] : 39).

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia, dan apa yang telah Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Al-Baqarah: 164)