Rabu, 18 Juli 2012

Menyikapi Perbedaan Dalam Menentukan Awal Dan Akhir Ramadhan Part II


Waliy al Amr dan Solusi Keberjamahan
Dalam skala jamaah yang jumlahnya kecil, meskipun seorang makmum memandang bahwa qunut dalam sholat shubuh tidak disyariatkan dan imam meyakini bahwa qunut tersebut sesuatu yang disyariatkan, sang makmum tidak boleh mendahului imam sujud atau bahkan membatalkan sholatnya karena perbedaan ijtihad.
Dalam skala yang lebih besar, wukuf di Arafah -yang merupakan puncak pelaksanaan ibadah haji- dapat dijadikan sebagai contoh. Jika seorang jamaah haji meyakini berdasarkan ijtihadnya(pendapatnya) bahwa hari Arafah jatuh sehari sebelum atau sesudah hari yang ditetapkan oleh otoritas yang berwewenang, maka ia tidak dibolehkan untuk melaksanakan wukuf sendirian di Arafah berdasarkan keyakinannya dan menyelisihi apa yang ditetapkan oleh otoritas yang berwewenang (dalam hal ini pemerintah Arab Saudi), karena wukuf merupakan ibadah yang mengedepankan kebersamaan dan persatuan jama’ah haji dalam pelaksanaannya.
Dalam sejarah, sahabat Ibnu Mas’ud –Radhiyallahu’anhu-  patut dijadikan teladan dalam masalah ini. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1/307) bahwasanya Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan  -Radhiyallahu’anhu- melaksanakan sholat di Mina sebanyak 4 rakaat (tidak diqashar), maka sahabat  Abdullah Ibn Mas’ud pun menginkari hal tersebut seraya berkata: “Aku (telah) ikut melaksanakan sholat di belakang Nabi –Shallallahu’alahi Wasallam-, di belakang Abu Bakar, di belakang Umar dan di awal masa pemerintahan Utsman sebanyak 2 rakaat (diqashar), kemudian setelah itu Utsman melaksanakannya secara sempurna (tidak diqashar).” 
Kemudian Ibnu Mas’ud mengerjakan 4 rakaat (di belakang Utsman). Lantas beliau ditegur: “Engkau mencela Utsman tetapi engkau (mengikutinya) melaksanakan 4 rakaat.”  Beliau berkata: “Berselisih itu Jelek”. 

Menyikapi Perbedaan Dalam Menentukan Awal Dan Akhir Ramadhan

Penulis: Ahmad Hanafi (Mahasiswa S3 Jurusan Tsaqafah Islamiyah di King Saud University Riyadh)

Dalam syari’at Islam, kolektifitas (keberjamaahan) dalam pelaksanaan sebagian ibadah mempunyai kedudukan yang sangat urgen dan strategis. Hal ini berangkat dari sebuah mainstream bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi prinsip wahdah al-ummah (persatuan ummat)  sebagai salah satu risalah (visi) penting dalam kedudukannya sebagai rahmatan lil’alamin. 

Maka salah satu sarana untuk mewujudkan visi tersebut disyariatkanlah beberapa jenis ibadah Jama’iyyah yang selain fungsi utamanya adalah pembuktian penghambaan seorang hamba kepada Allah Azza Wa Jalla, di lain sisi ia juga memuat nilai-nilai keberjamaahan yang sangat kental.
Dari sisi jumlah individu pelaksana sebuah ibadah yang disyari’atkan, maka ibadah tersebut dibagi menjadi dua bagian besar;

Pertama: Ibadah Fardiyah (individual). yaitu ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan secara individual (perseorangan) tanpa melibatkan orang lain (jama’ah), contohnya: Amalan hati berupa niat, keikhlasan, rasa takut kepada Allah, begitu juga sebagian amalan anggota badan seperti membaca al-Quran, melaksanakan thawaf di Ka’bah, sa’i antara  Shofa dan Marwa dan juga seperti sholat sunnah rawatib dan yang lainnya.

Kedua: Ibadah Jama’iyyah (Kolektif). Yaitu ibadah yang disyariatkan untuk dilaksanakan oleh kaum muslimin secara berjama’ah dan bersama-sama, seperti: Sholat Jum’at, sholat dua hari raya, Wukuf di Arafah bagi Jama’ah haji, Jihad fi sabilillah dan yang lainnya.

Senin, 16 Juli 2012

Sang Jurnalis Islam dalam dunia maya


Sebagai seorang muslim kita diharuskan memiliki perhatian terhadap munculnya berbagai tulisan-tulisan di dunia maya. Memposting tulisan dalam dunia maya merupakan hal yang tak asing lagi. Tulisan yang ditampilkan oleh setiap pengguna internet beranekaragam. Sebagian orang memposting tulisannya dengan tujuan yang berbeda-beda. Salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengubah opini publik.

Hal itu disebabkan karena pengguna internet telah menjamur dimana-mana. Untuk mencari referensi tentang islam, pengguna internet lebih cenderung membaca secara online. Tempat untuk mencari referensi diantaranya Lewat website, blog, maupun jejaring social lainnya. Membaca sejenak, sebuah paragraf ataupun tulisan dapat mengubah opini seseorang. Hal ini tentunya beresiko kepada Sebagian kaum yang masih awwam terhadap Islam. Apa lagi tulisan perusak aqidah banyak disebarkan di dunia maya. Seorang jurnalis muslim sebaiknya berperan aktif untuk mengimbangi tulisan tersebut.


Beberapa cara yang ditempuh diantaranya: membuat blog sendiri yang berisikan postingan yang berdasarkan dari Al-Qur’an dan Sunnah. Ataupun bergabung dalam suatu komunitas misalnya komunitas pena sunnah. Untuk mengakses komunitas pena sunnah cukup menghubungi alamat www.penadighest.com, e-mail :info@penadigest .

Create: editor